GEREJA DALAM SEJARAH PERKEMBANGANNYA
Penulis perjanjian baru menampilkan Yesus
sebagai tokoh utama dalam gerakan transformatif yang mengkhotbahkan ideologi
Kerajaan Allah yang bertolak belakang dengan berbagai kenyataan konteks sosial
dimana Yesus melayani. Misi pelayanan Yesus disampaikan dengan jelas sebelum
memulai pelayanan, Yesus hadir memberitakan perubahan arah hidup, pembaruan,
kebebasan, keadilan, kebenaran, dan kesejahteraan (Luk.4:18-21). Pillay
mengemukakan bahwa berita hadirnya kerajaan Allah yang disampaikan Yesus bukan
hanya tentang pembaruan spiritual, tetapi juga merupakan benih bagi revolusi
ekonomi dan reversi sosial masyarakat pada masa itu.
Peran gereja sebagai agen perubahan di dalam
masyarakat pada abad pertama sangat terlihat, sebagai bentuk penghambaan diri
dan ketaatan kepada teladan Yesus, gereja tidak hanya melulu memperhatikan
pembangunan kerohanian iman dan melaksanakan tugas kenabian (Kis.2:41-44),
gereja juga mengambil bagian dalam persoalan sosial (Kis.2:45; 4:32-35). Winter
mengemukakan bahwa kehidupan gereja pada abad pertama diwarnai dengan
tanggungjawab sosial yang tinggi untuk mengusahakan kesejahteraan kota,
menolong yang lemah dan berusaha menunjukkan perbuatan-perbuatan belas kasihan
yang nyata. Pernyataan tersebut di dukung oleh Harnack, dimana pendapatnya
bahwa peran jemaat mula-mula sangat nyata ketika memperhatikan para janda, para
yatim piatu, para budak, orang asing, orang yang sakit, orang miskin, dan
mereka yang ada di dalam penjara.
Setelah ke kristenan menjadi agama resmi ke
kaisaran Romawi pada era Konstantin, struktur dan pemerintahan gereja berubah
menjadi struktur hirarki-piramidal yang lebih kompleks sesuai dengan sistem
pemerintahan monarki. Suara gereja banyak mempengaruhi kebijakan kekaisaran
Roma dalam membuat kebijakan dan pengaturan sosial. Gereja mengupayakan peran
melampaui sekat antara ruang privat dan ruang publik dengan memberikan banyak
perhatian pada isu-isu yang dihadapi dunia. Perhatian gereja didorong oleh
belas kasihan dan dicirikan oleh rasa berkeadilan sosial serta ketundukan dan
kasih kepada Allah. gereja berupaya mempraktikkan tindakan belas kasih dalam
rangka pengabdian dan ketaatan sebagaimana diajarkan oleh Alkitab dengan
menolong orang-orang lemah terabaikan.
Pada masa itu, keberpihakan terhadap wanita,
anak-anak, dan para budak semakin meningkat, misalnya dalam konteks peradilan,
wanita tidak lagi dipaksa untuk menjalani pemeriksaan di pengadilan umum; para
janda dan yatim piatu mendapat pengecualian perlakuan dalam proses yuridis di pengadilan.
Pada masa ini juga sebagai bentuk refleksi keyakinan bahwa manusia merupakan
citra Allah, maka pertunjukan Gladiator kepada publik dihentikan. Penyaliban
sebagai bentuk eksekusi terpidana mati juga tidak dilakukan lagi, segaligus
sebagai bentuk penghormatan karya Kristus. Dengan integrasi gereja dan negara
pada masa itu, menghadirkan nilai dan budaya baru yang mendorong transformasi
kehidupan bermasyarakat semakin meluas. Stanmaugh menambahkan bahwa gereja juga
mengambil peran penting pada kebijakan yang berkenaan dengan tata kelola
ekonomi masyarakat pada waktu itu.
Gereja yang berkembang di Eropa pada abad
pertengahan (abad 4-16 – masa kegelapan) berada dalam sistem hirarki sosial
feodalisme yang sangat kuat. Sistem hirarki-paternalistik pada struktur
masyarakat di abad pertengahan juga berlaku bagi oknum pejabat gereja.
Kedudukan agama kristen sebagai agama negara membuat para Klerus juga memiliki
atribut kepemimpinan di dalam strata sosial dan pemerintahan. Pengaruh gereja
ditunjukkan dengan dorongan untuk menerapkan nilai-nilai etis paternalistik di
dalam kehidupan sosial dan ekonomi. Nilai ini mengajarkan bahwa kekayaan dan
kemakmuran tidak ditentang, namun ketamakan, egoisme, iri hati, hawa nafsu akan
kekayaan adalah hal yang ditentang. Di sisi lain, gerakan pembaharuan yang
lebih kuat justru terjadi di luar gereja sebagai lembaga. Muncul tokoh pelopor
seperti Agustinus dari Hippo atau berkembangnya gerakan Monastik menjadi
tonggak penting di dalam propagasi gerakan transformasional di dalam gereja.
Agustinus dari Hippo adalah salah satu tokoh
eklesiologi transformatif pada era ini, yang dikemudian dikenal sebagai arsitek
dari doktrin belas kasihan. Konstruksi eklesiologi Agustinus didasarkan pada
refleksi terhadap karya Allah yang menghambakan diri menjadi manusia dengan
sebuah misi pembaharuan. Agustinus menyatakan bahwa gereja harus terlibat di
dalam dunia; gereja bagi dunia dan bukan dunia gereja sebagai bentuk meneladani
Kristus Sang Hamba. Dengan kata lain, gereja harus mengambil andil di dalam
gerakan transformasi sosial, memperhatikan orang miskin dengan upaya belas
kasihan. Ketaatan dan penghambaan diri kepada Allah harus ditunjukkan pada
tindakan belas kasihan kepada orang miskin.
Selain pemikiran tersebut, pemikiran
eklesiologi transformatif pada abad pertengahan sangat terkait dengan
perkembangan gerakan monastik di dalam gereja (abad ke 5-12). Kendati pada
umumnya gerakan monastri dikenal dengan memisahkan pemisahan diri dari sistem
dunia dengan membentuk komunitas sosial dengan nilai-nilai idealis, namun
pengaruh gerakan ini memberi dampak signifikan pada transformasi sosial
khususnya masyarakat Eropa. Ellison mengatakan bahwa para rahib sangat
dihormati pada waktu itu, gaya hidupnya menjadi teladan khususnya bagi
masyarakat kelas bawah. Kemudian, keberadaan monastri sangat memberi arti
karena disana bukan hanya diajarkan menjadi pusat pembelajaran iman Kristen
tetapi juga berbagai bidang keilmuan dan keterampilan lain.
Dari gerakan inilah ungkapan ora et labora, gerakan ini mendirikan
biara-biara berusaha mengupayakan keselarasan antara teologi dan praksis, iman
dan pengembangan ilmu pengetahuan, kerohanian dan sosial ekonomi. Para rahib
dilatih untuk mengembangkan kehidupan yang mampu menjawab pergulatan dunia
sebagai bagian dari tugas pemberitaan Injil dan ketaatan kepada Allah. Upaya
ini berusaha untuk membuat gereja lebih berperan bagi dunia. Neibuhr mengatakan
bahwa sistem monastri yang bermunculan pada masa itu telah menyelamatkan gereja
dari sikap diam, petrifikasi, serta kehilangan visi dan misinya. Biara-biara
didirikan sebagai komunitas religio-sosial yang berupaya hidup dengan nilai dan
tatanan untuk menciptakan sistem kemasyarakatan yang baru ditengah sistem
sosial yang korup dan cemar.
Gereja pada era reformasi ada di dalam
konteks revolusi industri Eropa, berkembangnya rasionalisme, politik dan
ekonomi kapitalisme maupun merkantilisme sebagai kebijakan politik negara
imperialis. Di dalam konteks sosio-politik dan ekonomi seperti inilah gereja di
era reformasi berada, berkembangnya rasionalisme memunculkan pola pikir kritis
yang menyampaikan kritis sosial atas situasi yang terjadi termasuk kepada
gereja. Marthin Luther dengan tegas menentang kapitalisme di dalam gereja yang
memungut bunga. Ia menyebut gereja sebagai kapitalis penindas, tidak berharga,
dan harus bertobat karena sudah menyimpang dari panggilan kehambaannya. Kritik
Luther bukan hanya ditujukan pada persoalan-persoalan dogmatis saja, tetapi
juga pada ranah sosial.
John Calvin seperti Marthin Luther menjadi
tokoh reformasi sekaligus memberikan penekanan pada peran gereja sebagai agen
transformasi. Calvin mendemonstrasikan pemikiran transformatifnya secara nyata
khususnya di Genewa, ia meyakini adanya keterhubungan yang kuat antara cara
pandang keagamaan dengan transformasi masyarakat. Keyakinan ia sampaikan dengan
kesadaran bahwa masyarakat dimana ia ada dalam keadaan krisis baik secara moral
dan spiritual, kehidupan menggereja harus membawa dampak transformatif bagi masyarakat.
Konsep dasar Calvin dalam memandang mandat
pembaharuan berpijak pada keyakinan bahwa Allah adalah penguasa atas alam
semesta dan manusia adalah hamba-Nya. Allah memiliki otoritas atas segala
ciptaan termasuk masyarakat gereja dan diluar gereja. Bagi Calvin, gereja
adalah perpanjangan takhta Kristus dengan transformasi spiritualitas pribadi,
maupun transformasi wajah bumi dengan memenuhinya dengan pengenalan akan
Kristus. Pengenalan tersebut akan membentuk komunitas kristen yang sejati dan
dengan cara itulah transformasi akan terjadi. Gerakan reformasi gereja menjadi
kebangkitan pemikiran eklesiologi transformatif, gerakan pembaharuan tidak
hanya memperbaharui dan mengubah gereja dan meninggalkan dunia. Namun,
reformasi telah melakukan intervensi dramatis dalam sejarah peradaban dunia.
Referensi
Alphonsus
Tjatur Raharso, Penghayatan Agama Diruang Publik Yang Plural (Malang: STFT
Widya Sasana, 2017)
Roger Haight, Gereja Bait Allah (Chicago: Herald Press,2010).
Louis Bouyer, Komunitas Kristen (Yogyakarta: Kanisius, 2011).
Kristianto, Teologi Trinitas Pasca Vatikan II (Yogyakarta: Kanisius, 2009).
Rausch, Teologi Bagi Kaum Awam (Yogyakarta: Kanisius, 2015).
Dietrich Khul, Gereja Mula-Mula (Batu: Departemen YPPI,2001).
Harnack Von, Menjadi Gereja Yang Bersaksi (Batam: Press Media, 2017).
Yohanes Calvin, Institutio Pengajaran Agama Kristen (Jakarta: BPK Gunung
Mulia,2000).

Posting Komentar untuk "GEREJA DALAM SEJARAH PERKEMBANGANNYA"